Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mendiagnosis penyakit dan
menentukan jenis pengobatan terhadap pasien terus berkembang. Teknologi
melalui pencitraan tersebut kini semakin akurat dan efektif.
Kemajuan teknologi di bidang kedokteran saat ini memberi kemudahan
kepada para praktisi kedokteran untuk mendiagnosis penyakit dan
menentukan jenis pengobatan terhadap pasien. Salah satu bentuk teknologi
canggih tersebut adalah penggunaan alat MRI untuk melakukan pencitraan
diagnosis penyakit pasien.
MRI didefinisikan sebagai
pemeriksaan yang bersifat noninvasif untuk mendapatkan gambar dari
berbagai bagian tubuh seorang manusia tanpa menggunakan sinar-X, tidak
seperti gambar X-ray dan CT scan. Alat pemindai MRI
terdiri atas medan magnet yang besar dan sangat kuat di daerah di mana
pasien diletakkan. Sebuah antena gelombang radio digunakan untuk
mengirim sinyal ke tubuh dan kemudian menerima sinyal itu kembali.
Sinyal ini lalu diubah menjadi gambar oleh komputer yang terpasang ke alat pemindai (scanner).
Gambar dari hampir seluruh bagian tubuh dapat diperoleh di hampir semua
sudut tertentu. Sinyal gelombang radio yang digunakan sebenarnya medan
magnet yang bervariasi atau berubah jauh lebih lemah daripada di
lapangan, medan magnet yang kuat dari magnet utama.
MRI telah digunakan sejak 1980-an, namun hingga kini teknologinya terus berkembang.
Untuk semakin meningkatkan pengetahuan dan kemampuan para ahli
radiologi Indonesia, GE Healthcare (GEHC) bekerja sama dengan
Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia (PDSRI)
menyelenggarakan sebuah program pelatihan dan workshop. Acara
tersebut mengundang dr Scott W Atlas, profesor radiologi dan kepala
neuro-radiologi dari Medical Center Stanford University, Amerika
Serikat. Menurut dia, perkembangan MRI semakin pesat dengan lebih banyak
lagi perangkat lunak (software) yang bisa ”dibenamkan” di dalam alat sehingga meningkatkan kinerjanya.
”Jika sudah di-upgrade,
hasil pemindaian dari MRI akan keluar lebih cepat dan menghasilkan
diagnosis yang lebih akurat dibandingkan alat lain. Ini sangat berguna
bagi pasien yang sedang kritis dan membu- tuhkan penanganan segera,”
sebutnya dalam acara temu media di Mandarin Oriental Hotel, belum lama
ini.
Pemeriksaan lewat MRI, menurut dia, juga aman. MRI tidak menggunakan
sinar-X yang berisiko terpapar radiasi yang akan memiliki berbagai
dampak negatif terhadap tubuh, seperti halnya CT scan. Prosedur MRI juga tidak menimbulkan sakit, kerusakan jaringan, dan sebagainya.
Namun, ada beberapa orang yang disarankan untuk tidak menggunakan
fasilitas MRI, seperti orang yang fobia berada di ruang sempit
(claustrophobic) atau yang menggunakan perangkat medis implant, misalnya
klip aneurisma di otak, alat pacu jantung, dan cochlear (implan yang diletakkan di telinga bagian dalam untuk alat bantu dengar).
Selain itu, pasien dengan potongan-potongan logam yang ditanamkan dekat
atau di dalam organ penting (misalnya mata), yang mungkin tidak bisa
dipindai, juga tidak diperbolehkan menggunakan MRI.
”MRI bisa aman digunakan beberapa kali, tanpa batasan, bahkan oleh anak-anak dengan kondisi penyakit tertentu,” sebut Atlas.
Saat ini MRI adalah cara pencitraan yang paling sensitif,terutama
untuk otak pada praktik rutin. Atlas mengemukakan, pemeriksaan MRI dapat
dilakukan untuk mengetahui kelainan pada pembuluh darah, tulang
belakang, multiple sclerosis, jaringan lunak, tumor, infeksi,
perdarahan, hingga stroke. Selain itu, hasil MRI dapat menjadi pemandu
dokter bedah sehingga operasi bisa lebih aman.
”Negara-negara
yang banyak mengembangkan perangkat lunak untuk MRI, di antaranya
Amerika Serikat, negara-negara Eropa bagian barat,Jepang,dan Australia.
Mereka memiliki manufaktur sendiri dan dikembangkan berdasarkan
riset-riset di perguruan tinggi,” katanya.
Menurut Atlas, di negaranegara Barat, pasien boleh memilih sendiri
menggunakan cara apa untuk mendiagnosis penyakit, apakah dengan MRI, CT scan,
sinar-X atau yang lainnya. Namun, pada dasarnya, penetapan tersebut
adalah hak dokter sesuai dengan kondisi dan keadaan pasien.
Ketua Umum PDSRI dr Bambang Budyatmoko Sp.Rad (K) mengakui,
pengetahuan dan keahlian dokter radiologi di Tanah Air dalam
mengoperasikan MRI tidak merata. Terutama, bagi mereka yang bertugas di
daerah-daerah yang jauh dan terpencil.
sumber : http://health.okezone.com
!-end>!-my>
Blogroll
About
Sabtu, 11 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Sabtu, 11 Mei 2013
Pengunaan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mendiagnosis penyakit dan
menentukan jenis pengobatan terhadap pasien terus berkembang. Teknologi
melalui pencitraan tersebut kini semakin akurat dan efektif.
Kemajuan teknologi di bidang kedokteran saat ini memberi kemudahan kepada para praktisi kedokteran untuk mendiagnosis penyakit dan menentukan jenis pengobatan terhadap pasien. Salah satu bentuk teknologi canggih tersebut adalah penggunaan alat MRI untuk melakukan pencitraan diagnosis penyakit pasien.
MRI didefinisikan sebagai pemeriksaan yang bersifat noninvasif untuk mendapatkan gambar dari berbagai bagian tubuh seorang manusia tanpa menggunakan sinar-X, tidak seperti gambar X-ray dan CT scan. Alat pemindai MRI terdiri atas medan magnet yang besar dan sangat kuat di daerah di mana pasien diletakkan. Sebuah antena gelombang radio digunakan untuk mengirim sinyal ke tubuh dan kemudian menerima sinyal itu kembali.
Sinyal ini lalu diubah menjadi gambar oleh komputer yang terpasang ke alat pemindai (scanner). Gambar dari hampir seluruh bagian tubuh dapat diperoleh di hampir semua sudut tertentu. Sinyal gelombang radio yang digunakan sebenarnya medan magnet yang bervariasi atau berubah jauh lebih lemah daripada di lapangan, medan magnet yang kuat dari magnet utama.
MRI telah digunakan sejak 1980-an, namun hingga kini teknologinya terus berkembang.
Untuk semakin meningkatkan pengetahuan dan kemampuan para ahli radiologi Indonesia, GE Healthcare (GEHC) bekerja sama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia (PDSRI) menyelenggarakan sebuah program pelatihan dan workshop. Acara tersebut mengundang dr Scott W Atlas, profesor radiologi dan kepala neuro-radiologi dari Medical Center Stanford University, Amerika Serikat. Menurut dia, perkembangan MRI semakin pesat dengan lebih banyak lagi perangkat lunak (software) yang bisa ”dibenamkan” di dalam alat sehingga meningkatkan kinerjanya.
”Jika sudah di-upgrade, hasil pemindaian dari MRI akan keluar lebih cepat dan menghasilkan diagnosis yang lebih akurat dibandingkan alat lain. Ini sangat berguna bagi pasien yang sedang kritis dan membu- tuhkan penanganan segera,” sebutnya dalam acara temu media di Mandarin Oriental Hotel, belum lama ini.
Pemeriksaan lewat MRI, menurut dia, juga aman. MRI tidak menggunakan sinar-X yang berisiko terpapar radiasi yang akan memiliki berbagai dampak negatif terhadap tubuh, seperti halnya CT scan. Prosedur MRI juga tidak menimbulkan sakit, kerusakan jaringan, dan sebagainya.
Namun, ada beberapa orang yang disarankan untuk tidak menggunakan fasilitas MRI, seperti orang yang fobia berada di ruang sempit (claustrophobic) atau yang menggunakan perangkat medis implant, misalnya klip aneurisma di otak, alat pacu jantung, dan cochlear (implan yang diletakkan di telinga bagian dalam untuk alat bantu dengar).
Selain itu, pasien dengan potongan-potongan logam yang ditanamkan dekat atau di dalam organ penting (misalnya mata), yang mungkin tidak bisa dipindai, juga tidak diperbolehkan menggunakan MRI.
”MRI bisa aman digunakan beberapa kali, tanpa batasan, bahkan oleh anak-anak dengan kondisi penyakit tertentu,” sebut Atlas.
Saat ini MRI adalah cara pencitraan yang paling sensitif,terutama untuk otak pada praktik rutin. Atlas mengemukakan, pemeriksaan MRI dapat dilakukan untuk mengetahui kelainan pada pembuluh darah, tulang belakang, multiple sclerosis, jaringan lunak, tumor, infeksi, perdarahan, hingga stroke. Selain itu, hasil MRI dapat menjadi pemandu dokter bedah sehingga operasi bisa lebih aman.
”Negara-negara yang banyak mengembangkan perangkat lunak untuk MRI, di antaranya Amerika Serikat, negara-negara Eropa bagian barat,Jepang,dan Australia. Mereka memiliki manufaktur sendiri dan dikembangkan berdasarkan riset-riset di perguruan tinggi,” katanya.
Menurut Atlas, di negaranegara Barat, pasien boleh memilih sendiri menggunakan cara apa untuk mendiagnosis penyakit, apakah dengan MRI, CT scan, sinar-X atau yang lainnya. Namun, pada dasarnya, penetapan tersebut adalah hak dokter sesuai dengan kondisi dan keadaan pasien.
Ketua Umum PDSRI dr Bambang Budyatmoko Sp.Rad (K) mengakui, pengetahuan dan keahlian dokter radiologi di Tanah Air dalam mengoperasikan MRI tidak merata. Terutama, bagi mereka yang bertugas di daerah-daerah yang jauh dan terpencil.
sumber : http://health.okezone.com
Kemajuan teknologi di bidang kedokteran saat ini memberi kemudahan kepada para praktisi kedokteran untuk mendiagnosis penyakit dan menentukan jenis pengobatan terhadap pasien. Salah satu bentuk teknologi canggih tersebut adalah penggunaan alat MRI untuk melakukan pencitraan diagnosis penyakit pasien.
MRI didefinisikan sebagai pemeriksaan yang bersifat noninvasif untuk mendapatkan gambar dari berbagai bagian tubuh seorang manusia tanpa menggunakan sinar-X, tidak seperti gambar X-ray dan CT scan. Alat pemindai MRI terdiri atas medan magnet yang besar dan sangat kuat di daerah di mana pasien diletakkan. Sebuah antena gelombang radio digunakan untuk mengirim sinyal ke tubuh dan kemudian menerima sinyal itu kembali.
Sinyal ini lalu diubah menjadi gambar oleh komputer yang terpasang ke alat pemindai (scanner). Gambar dari hampir seluruh bagian tubuh dapat diperoleh di hampir semua sudut tertentu. Sinyal gelombang radio yang digunakan sebenarnya medan magnet yang bervariasi atau berubah jauh lebih lemah daripada di lapangan, medan magnet yang kuat dari magnet utama.
MRI telah digunakan sejak 1980-an, namun hingga kini teknologinya terus berkembang.
Untuk semakin meningkatkan pengetahuan dan kemampuan para ahli radiologi Indonesia, GE Healthcare (GEHC) bekerja sama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia (PDSRI) menyelenggarakan sebuah program pelatihan dan workshop. Acara tersebut mengundang dr Scott W Atlas, profesor radiologi dan kepala neuro-radiologi dari Medical Center Stanford University, Amerika Serikat. Menurut dia, perkembangan MRI semakin pesat dengan lebih banyak lagi perangkat lunak (software) yang bisa ”dibenamkan” di dalam alat sehingga meningkatkan kinerjanya.
”Jika sudah di-upgrade, hasil pemindaian dari MRI akan keluar lebih cepat dan menghasilkan diagnosis yang lebih akurat dibandingkan alat lain. Ini sangat berguna bagi pasien yang sedang kritis dan membu- tuhkan penanganan segera,” sebutnya dalam acara temu media di Mandarin Oriental Hotel, belum lama ini.
Pemeriksaan lewat MRI, menurut dia, juga aman. MRI tidak menggunakan sinar-X yang berisiko terpapar radiasi yang akan memiliki berbagai dampak negatif terhadap tubuh, seperti halnya CT scan. Prosedur MRI juga tidak menimbulkan sakit, kerusakan jaringan, dan sebagainya.
Namun, ada beberapa orang yang disarankan untuk tidak menggunakan fasilitas MRI, seperti orang yang fobia berada di ruang sempit (claustrophobic) atau yang menggunakan perangkat medis implant, misalnya klip aneurisma di otak, alat pacu jantung, dan cochlear (implan yang diletakkan di telinga bagian dalam untuk alat bantu dengar).
Selain itu, pasien dengan potongan-potongan logam yang ditanamkan dekat atau di dalam organ penting (misalnya mata), yang mungkin tidak bisa dipindai, juga tidak diperbolehkan menggunakan MRI.
”MRI bisa aman digunakan beberapa kali, tanpa batasan, bahkan oleh anak-anak dengan kondisi penyakit tertentu,” sebut Atlas.
Saat ini MRI adalah cara pencitraan yang paling sensitif,terutama untuk otak pada praktik rutin. Atlas mengemukakan, pemeriksaan MRI dapat dilakukan untuk mengetahui kelainan pada pembuluh darah, tulang belakang, multiple sclerosis, jaringan lunak, tumor, infeksi, perdarahan, hingga stroke. Selain itu, hasil MRI dapat menjadi pemandu dokter bedah sehingga operasi bisa lebih aman.
”Negara-negara yang banyak mengembangkan perangkat lunak untuk MRI, di antaranya Amerika Serikat, negara-negara Eropa bagian barat,Jepang,dan Australia. Mereka memiliki manufaktur sendiri dan dikembangkan berdasarkan riset-riset di perguruan tinggi,” katanya.
Menurut Atlas, di negaranegara Barat, pasien boleh memilih sendiri menggunakan cara apa untuk mendiagnosis penyakit, apakah dengan MRI, CT scan, sinar-X atau yang lainnya. Namun, pada dasarnya, penetapan tersebut adalah hak dokter sesuai dengan kondisi dan keadaan pasien.
Ketua Umum PDSRI dr Bambang Budyatmoko Sp.Rad (K) mengakui, pengetahuan dan keahlian dokter radiologi di Tanah Air dalam mengoperasikan MRI tidak merata. Terutama, bagi mereka yang bertugas di daerah-daerah yang jauh dan terpencil.
sumber : http://health.okezone.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar